Baru-baru ini muncul tren yang cukup menggemparkan; virtual influencer atau influencer semu, terutama di kalangan mereka yang aktif di media sosial dan ruang pemasaran influencer. Para influencer virtual ini adalah influencer yang dirancang dan diciptakan menggunakan CGI untuk menggambarkan kehidupan impian dan ideal. Salah satu influencer virtual yang fenomenal baru-baru ini adalah akun @lilmiquela di Instagram yang dijuluki sebagai Gadis Fiksional.
Ada sebuah artikel dari BBC baru-baru ini yang juga fokus menyoroti tentang batas yang mengabur antara kepribadian manusia dengan kepribadian yang dihasilkan oleh komputer. “Pada kenyataannya, bukankah semua influencer adalah digital? … Anda bisa tahu bahwa mereka ada karena mereka hadir di media atau platform digital entah itu Instagram, Facebook, YouTube, dll.”
Kecenderungan untuk membuat kepribadian artifisial ini akan dapat menimbulkan potensi risiko yang besar dan masif bagi kultur media di masa yang akan datang. Tentu saja ada perbedaan yang sangat mencolok antara kepribadian sesungguhnya dengan kepribadian artifisial.
Berikut ini adalah tiga alasan mengapa influencer virtual sangat tidak baik dan tidak dianjurkan untuk pemasaran influencer, media sosial, dan budaya—secara menyeluruh.
#1 Ekspektasi yang Tidak Realistis
Grafis yang dihasilkan oleh komputer tentu saja dimaksudkan untuk menghasilkan kesempurnaan tanpa celah sedikit pun. Mereka memang sejatinya dimaksudkan untuk menjadi kreasi yang ideal dari tim desain. Para influencer virtual ini menimbulkan efek yang berbahaya bagi masyarakat luas, sebab mereka akhirnya menciptakan harapan yang tidak realistis tentang seperti apa sebuah gaya, budaya, bahkan kecantikan, seharusnya. Hal ini dapat menimbulkan implikasi yang sangat serius terutama bagi kaum muda (kemudian dapat disebut milenials) di masa pertumbuhan mereka yang mengidolakan bintang media sosial dan menjadikannya sosok untuk ditiru.
Influencer virtual dapat menciptakan beban mental, dan hal ini dapat bersifat permanen.
#2 Motivasi
Ketika melihat ke dalam influencer virtual ini, kita juga harus tahu siapa saja pihak-pihak yang berada di balik kepribadian tersebut. Masih merujuk pada artikel di BBC yang sebelumnya disebutkan, akun @lilmiquela terkait dengan sebuah perusahaan bernama Brud, sebuah perusahaan yang menyebut diri mereka sebagai “Sekelompok pemecah-masalah dalam robotik yang berbasis di Los Angeles, kecerdasan buatan dan aplikasinya untuk media bisnis”.
Dari sini kita dapat menarik sebuah simpulan bahwa tujuan sebuah perusahaan ketika menjalankan personalitas internet adalah satu: keuntungan.
Akun seperti @lilmiquela menandai, mendukung, dan mengintegrasikan brand secara teratur menuju feed Instagram brand mereka. Soal apakah kreator konten mendapatkan kompensasi atas itu, masih tidak jelas. Namun jika iya, sepertinya mereka tidak mengindahkan regulasi wajib dari FTC.
#3 Autentisitas
Ketika seorang bloger atau influencer menjalin kerja sama endorsement di blog atau media sosial, mereka meninjau, mencoba produk, dan memberikan pendapat yang jujur mengenai suatu produk sebelum mereka membagikannya pada audiens mereka. Ini adalah kelemahan dari influencer virtual di mana mereka kesulitan karena tidak bisa mencoba brand pakaian, tidak dapat menentukan jenis makanan yang sebenarnya mereka sukai, dan tidak bisa menentukan jenis alat kecantikan seperti apa yang cocok dengan kulit mereka—alih-alih, hal terbaik yang bisa mereka lakukan adalah meniru tren pada saat itu sehingga tidak ada jaminan keaslian. Pembuat influencer virtual tidak menawarkan autentisitas di balik dukungan yang mereka berikan.
Ketika bekerja sama dengan influencer, kita kadang melihat ada penolakan dari mereka jika menemukan ketidakcocokan dengan brand yang memintanya bekerja sama—sesuatu yang tidak akan ditolak oleh influencer virtual.
Kekuatan yang membuat pemasaran influencer berdampak sangat besar adalah autentisitas. Itu adalah sebuah filosopi yang menggambarkan bahwa influencer mampu menghasilkan pengikut dan kredibilitas sebagai pencipta tren dengan cara membenamkan diri mereka langsung ke dalam bidang keahliannya. Mereka telah mencoba langsung berbagai macam produk, berbicara dengan para ahli, dan memberikan rekomendasi kepada para pengikut dan audiens mereka.
Dari perspektif audiens sendiri, kekuatan pemasaran influencer berasal dari kemampuan mereka untuk terhubung dan berhubungan dengan influencer yang mereka pilih untuk diikuti dan yang rekomendasinya mereka percayai. Pemasar perlu waspada dan berhati-hati dengan kreator media sosial yang mereka pilih untuk bekerja sama dalam program pemasaran influencer mereka. Influencer asli membawa autentisitas, kepercayaan, dan kredibilitas—sedangkan influencer virtual tidak dapat dipercaya untuk memberikan ulasan jujur terhadap sebuah produk atau layanan sebagaimana yang dilakukan influencer pada umumnya.
Masa depan pemasaran influencer akan didorong oleh kemajuan teknologi untuk membuat proses brand bekerja dengan influencer menjadi lebih efisien dan efektif, lebih baik, dan memberikan lebih banyak cara yang lebih baik untuk mengukur dampaknya. Teknologi dapat mendorong kultur ke depan, tetapi juga turut menjadi tanggung jawab masing-masing dari kita untuk berhati-hati terhadap dampak negatif dari teknologi baru yang akan kita hadapi, dan salah satu contohnya seperti influencer virtual ini.
Give your Opinions